Profesor Romli Pakar Hukum Pidana Dari UNPAD Menanggapi vonis Bebas 2 Anggota Polri Di Kasus Kanjuruhan |
Jakarta Berita-1.com
Vonis Bebas atas dua anggota Polri pada Kasus Kanjuruhan yang menimbulkan Pro dan Kontra mendapat tanggapan dari Pakar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran Prof.Dr Romli Atmasasmita, ,SH,LL.M.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Padjadjaran Prof.Romli Atmasasmita menegaskan bahwa Vonis bebas di dalam hukum acara pidana bukan sesuatu yang diharamkan.
Menurutnya Vonis bebas dalam hukum acara pidana yang berlaku adalah salah satu dari tiga jenis putusan pengadilan (vonis), selain putusan dilepas dari penuntutan (ontslag van alle rechtsvervolging) dan dihukum.
“Putusan pengadilan tersebut tergantung dari fakta-fakta yang diperoleh selama persidangan para terdakwa,”ujar Prof Romli kepada media pada Sabtu (18/3) yang lalu.
Teori hukum pidana dan juga doktrin hukum pidana menurut Prof. Romli berfungsi menciptakan ketertiban dalam masyarakat untuk memperoleh kepastian hukum, dan dengan kepastian hukum tersebut diharapkan akan tercipta keadilan dan lebih jauh juga memberikan kemanfaatan.
Dengan demikian lanjut Prof Romli, tujuan akhir bukanlah harus selalu menghukum atau memenjarakan setiap orang yang di duga melakukan kejahatan.
Masih kata Prof Romli, seiring dengan perkembangan masyarakat dunia khususnya Indonesia abad 20-21 saat ini diketahui bahwa, perlindungan hak asasi manusia merupakan idiologi baru hukum pidana, disampimg filosofi Pancasila dan filosofi pembalasan (lex talionis) lazimnya dipraktikan selama berabad-abad lamanya.
“Namun tetap diwajibkan perlindungan hak asasi manusia bagi setiap orang termasuk tersangka, terdakwa dan terpidana serta korban tindak pidana,”terang Prof Romli.
Dia mencontohkan bahwa wujud perlindungan hak asasi manusia dalam hukum pidana adalah, asas praduga tidak bersalah(presumption of innocence),non- self incriminating evidence, ne bis in idem, in dubio pro reo, dan abus de droit.
“Kekeliruan persepsi masyarakat mengenai tata cara berhukum dalam suatu perkara pidana yang keliru adalah selalu menghujat dan tunjuk hidung kepada aparatur penegak hukum terutama petugas kepolisian,”tambah Prof Romli.
Hal ini kata Prof Romli adalah akibat kurangnya pemahaman akan perkembangan praktik dan teoritik hukum dan diperparah oleh mereka yang justru paham hukum dan hak asasi manusia yang selalu mengedepankan hak asasi korban tidak juga pada pelaku kejahatan.
Prof Romli menambahkan dalam hal ini telah terjadi ketidakseimbangan pandangan mengenai hak dan kewajiban asasi manusia yang terus berlanjut tanpa koreksi yang terbaik dari para ahli atau pakar hukum.
“Kita mestinya harus ingat hak asasi manusia bahwa di dalam setiap Hak selalu melekat Kewajiban Asasi yang harus dipahami secara seimbang dan untuk saling dihormati,”terang Prof Romli.
Sejak dilakukan perubahan konstitusi UUD 45, lanjut Prof Romli sudah semestinya semua masyarakat termasuk pakar hukum dan hak asasi manusia memahami selain ketentuan Hak Asasi manusia, Bab XA, Pasal 28 A sd Pasal 28 I, juga harus dipahami ketentuan kewajiban asasi manusia yang tercantum dalam Pasal 28 J yang berbunyi: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
“Hukum pidana baik secara teoritik maupun praktik, diakui teosi sebab-akibat (causaliteit leer) Von Buri yang mengutamakan sebab terdekat dari suatu peristiwa untuk menentukan siapa penyebab dari suatu tindak pidana dari sekian banyak sebab, ” tegas Prof Romli.
Dalam konteks kasus Kanjuruhan, kata Prof Romli diketahui bahwa sebab terdekat dari peristiwa 135 orang meninggal dan 75 orang luka berat atau ringan adalah keadaan stadion yang sudah tidak laik fungsi terutama pintu gerbang 13 yang pada saat kerjadian penonton/supporter mencari jalan keluar dalam keadaan ¼ terbuka sehingga korban-korban tersebut terinjak-terinjak.
” Sebab terjauh adalah gas air mata unyangmengakibatkan dua petugas polri meninggal di lapangan yang didukung oleh provokasi beberapa oknum supporter aremania untuk menyerbu lapangan dan petugas di lapangan; keadaan chaos yang sudah tidak terkendali menimbulkan keadaan darurat (overmacht). ”ujar Prof Romli.
Dalam keadaan chaos tidak terkendali di malam hari dipastikan tidak dapat diketahui secara pasti siapa penyebab dan siapa korban; dan teori kausalitas merupakan alternatif solusi yang paling dapat diterima dan objektif.
Menurutnya dalam kasus Kanjuruhan semua empati dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat termasuk Komnas HAM terhadap keluarga korban hendaknya juga diiimbangi oleh teori dan doktrin hukum pidana yang diakui universal.
“Sehingga menghasilkan objektivitas yang dapat dipertanggung jawabkan secara sosial dan juga secara hukum, itulah suatu negara hukum, bukan negara penghukuman,”pungkas Prof Romli.red/im